Tanggal 28
November 1945 setelah Indonesia menyatakan kemerdekaannya, di Jakarta suasana
mencekam juga terjadi karena Belanda berusaha datang untuk menguasai kembali.
Pada bulan November turunlah mereka di pelabuhan Tanjung Priuk dengan peralatan
perangnya yang bertujuan ingin merebut kembali Jakarta. Sebelumnya Sekutu sudah
menggempur Surabaya, namun kedatangan mereka mampu dihadapi dengan heroik oleh
arek-arek Suroboyo.
Kedatangan pasukan
Sekutu yang didalamnya ada pasukan Belanda di Jakarta melalui Tanjung Priuk
sempat dicegat oleh kelompok para ulama yang menamakan dirinya "Laskar
Hizbullah" di bawah koordinator KH. Ahmad Mursidi, H. Darip, KH. Noer Ali
dan para ulama beserta jamaahnya yang berkumpul di bilangan Matraman. Hal
itulah yang membuat pihak Belanda melancarkan tembakannya ke arah para ulama
dan jamaahnya. Dengan kalimat Takbir mereka maju tanpa takut sedikitpun.
Belanda pun dibuat kewalahan. Berondongan peluru tidak mempan. KH. Ahmad
Mursidi berteriak: "Masih ade lagi peloronye? Kalo abis, nih boleh Ente
pungutin sendiri!" Belanda dibuat takjub dengan tangan kosong H. Darip
membalikan mobil-mobil pengangkut tentara penjajah. Belanda merasa kewalahan,
sekalipun demikian tetap saja kelompok ulama dan jamaahnya masih kalah jumlah.
Akhirnya upaya membendung kedatangan Belanda sedikit alot. Karena pihak ulama
dan jamaahnya merasa letih, pihak Belanda pun dapat memukul mundur sampai ke
perbatasan Bekasi. Perburuan Belanda terhadap para ulama dan jamaahnya terjadi.
Dan itu yang membuat Gerilya dari Laskar Hizbulloh yang imbasnya Jakarta tidak
jatuh ke tangan Belanda untuk ke dua kalinya.
Fakta ini jelas
menunjukkan jika para ulama telah menjadikan kawasan Matraman dan sekitarnya
menjadi kawasan terpenting dalam perjuangan, dan ini seolah mengulang kembali
ajang pertempuran bersejarah yang pernah terjadi beberapa ratus tahun yang lalu
dikawasan ini. Tiga ulama ini memang dikenal merupakan ulama-ulama yang
terkenal sangat keras dalam menghadapi penjajah.
KH Noer Ali adalah
ulama besar bangsa ini, siapapun yang pernah membaca biografinya akan
terkagum-kagum dengan sepak terjangnya dalam mempertahankan Kemerdekaan RI.
Namanya semakin tenar ketika Bung Tomo selalu menyebut dalam beberapa orasinya
di Radio Pemberontak dengan kalimat “Kyai Haji Noer Ali”. Sejak itulah namanya
terkenal dengan nama “Kyai Haji Noer Ali”. Disebutnya nama Kyai Noer Ali oleh
Bung Tomo menandakan bahwa kiprah perjuangan KH Noer Ali sangat diperhitungkan
sepak terjangnya oleh berbagai kalangan. Jika Surabaya bergolak dan didalamnya
terdapat peran serta ulama-ulama dan santri maka untuk wilayah Jakarta Raya
nama seperti Kolonel KH Noer Ali bersama KH Ahmad Mursyidi, Haji Darip dan juga
Guru Amin Kalibata mampu “menggetarkan” jagat perjuangan saat itu dengan
“Laskar Hizbullahnya”. Jika sejarah mau jujur, perlawanan dari para ulama-ulama
inilah yang nanti banyak memberikan pengaruh besar bagi mental pejuang untuk
terus berjuang. Laskar Hizbullah memang pada waktu itu terkenal “Selon” dalam
menghadapi penjajah. Modal mereka, doa, keberanian dan takbir, sehingga percaya
diri mereka itu sudah tidak perlu diragukan lagi. Mati bagi mereka tidak
masalah. Sehingga dengan keberanian seperti ini kadang banyak membuat fihak
geleng-geleng kepala, seolah bingung kenapa para pejuang tersebut bisa “nekat”.
Pertempuran Kolonel KH
Noer Ali yang sangat begitu heroik dalam melawan sekutu adalah tatkala beliau
dan pasukan Hizbullahnya bertempur mati-matian mempertahankan Front terakhir di
perbatasan Jakarta Bekasi pada tanggal 28 November 1945, 18 hari setelah perang
besar 10 November 1945 di Surabaya. Pertempuran 28 November 1945 tepatnya
berlangsung di Jembatan Kali Sasak di daerah Pondok Ungu Medan Satria Bekasi
Barat (kebetulan dekat dengan rumah kami). Dalam pertempuran hidup mati ini,
banyak saksi mata yang mengatakan jika pasukan KH Noer Ali kebal terhadap
peluru, demikian pula KH Noer Ali, dengan bekal wirid-wirid yang pernah
diajarkan oleh guru-gurunya, KH Noer Ali mampu menghidupkan keberanian para
anak buahnya.
Begitu heroiknya
pertempuran ini, sampai-sampai Chairil Anwar membuat sebuah Syair yang terkenal
berjudul KARAWANG BEKASI. Pertempuran di Kali Sasak Pondok Ungu ini dapat
dikatakan satu pertempuran terkeras dan tersengit di wilayah Jakarta Raya.
Tidak heran pasca serangan besar-besaran yang ditujukan kewilayah Bekasi
Karawang, kondisi menjadi luluh lantak seperti kondisi kota Surabaya. Sekutu
sepertinya tidak puas jika belum membom wilayah Karawang Bekasi. Karawang
Bekasi memang sangaja dihancurkan karena daerah ini merupakan lumbung beras
terakhir untuk wilayah Jakarta, jika daerah ini hancur, maka logistik beras
untuk rakyat Jakarta, otomatis terhenti. Namun sekalipun Karawang Bekasi
hancur, perjuangan Pasukan KH Noer Ali dan juga Kapten Lukas (kelak beliau
masuk Islam setelah menikah dengan istrinya yang muslimah) tetap menggelorakan
perjuangan.
Dengan semangat jihad
serta kelihaian Strategi Kolonel KH Noer Ali mampu menunjukkan kelasnya sebagai
komandan tempur yang handal, bersama dengan Kapten Lukas, dua orang ini
merupakan “buronan” penjajah Belanda, karena pasukan mereka terkenal alot dan
cerdik dalam melakukan sergapan.
Sampai saat ini nama
Kolonel KH Noer Ali begitu melegenda di daerah Bekasi. Kami sendiri adalah
pengagum beliau dan Alhamdulillah masih sempat bertemu beberapa kali dengan
beliau dalam acara-acara Maulid ataupun Haul yang sering diadakan
Majelis-majelis di Jakarta pada dekade tahun akhir 80 dan awal 90an. Pada
masanya, nama beliau banyak disebut-sebut penjajah Belanda. Seorang pakar
sejarah Belanda bahkan pernah terkagum-kagum dengan beliau ini, pakar tersebut bahkan
sempat berkata kepada Kyai Noer Ali, “ternyata seorang Kolonel Noer Ali bukan
tentara yang gagah perkasa. Penampilan anda begitu bersahaja, bahkan sangat
sederhana, malah pakai kain dan jubah, saya takjub dengan jati diri anda”.
Kiprah dan kisah perjuangan Sang Kolonel yang Ulama bahkan pernah ingin dibuat
oleh Dinas Sejarah TNI AD, namun karena Sang Kolonel tipikalnya rendah hati dan
hati-hati, Sang Kolonel memberikan syarat, jika ingin membuat kisahnya, Dinas
Sejarah TNI AD harus bersumber langsung darinya, dan Kolonel ingin melihat
tulisan Dinas Sejarah tersebut, akur atau tidak dengan kisah sesungguhnya dari
Sang Kolonel. Sampai wafatnya akhirnya kisah perjuangan beliau lebih banyak
ditulis fihak lain daripada fihak militer, padahal Sang Kolonel sangat dikagumi
banyak pejuang sepeti Jenderal Abdul Haris Nasution dan juga tokoh-tokoh besar
lainnya.
Mengenai hubungan
dengan Masjid Jami Matraman Dalam dan wilayah sekitarnya, tidak bisa dipungkiri
bila hal itu memang ada, apalagi bila melihat data diatas. Dalam tulisan
selanjutnya juga akan diketahui bahwa ilmu beladiri yang dimiliki Kolonel KH
Noer Ali bersama Haji Darip Klender salah satunya berasal dari dari aliran
SILAT MATRAMAN yang merupakan warisan dari putra dari Pangeran Diponegoro yang
nantinya akan banyak memberikan warna pada perjalanan sejarah Masjid Jami’
Matraman Dalam dan sekitarnya.
Pada masa pendudukan
Jepang (tahun 1942-1945) namanya sempat dimasukan ke dalam SHUMUBU yaitu Kantor
Urusan Agama Jepang. Pada pertengahan April 1942, KH Noer Ali memenuhi undangan
tentara Jepang menghadap pimpinan Shumubu yang berada dekat Masjid Jami’
Matraman Dalam Jatinegara Jakarta Timur (kemungkinan kantor ini sesudahnya
menjadi rumah KH Wahid Hasyim). Ternyata dikantor ini KH Noer Ali bertemu
dengan Muhammad Abdul Muniam Inada, pelajar Jepang yang menjadi temannya saat
berada di Mekkah dan saat itu sudah menjadi ketua Shumubu. Saat itu secara
resmi beliau diminta menjadi anggota Shumubu, namun dengan gaya diplomasi
beliau bisa menghindarkan diri dari aktifitas Shumubu yang merupakan propaganda
politik Jepang.
Keberadaan KH Noer Ali yang secara historis sangat dekat dengan
wilayah Matraman dan sekitarnya tentu sangat membanggakan bagi masyarakat
setempat. Perlu diketahui pada masa itu Masjid Matraman Dalam dan sekitarnya
adalah masuk wilayah Jatinegara Jakarta Timur, sebelum nanti akhirnya dipecah
dan menjadi daerah Jakarta Pusat. Pada masa itu Matraman dan sekitarnya adalah
daerah pergolakan, tentu KH Noer Ali yang merupakan pejuang, intelektual,
ulama, guru besar, sangat mengetahui persis tentang sejarah dari Masjid Jami’
Matraman Dalam dan sekitarnya, apalagi pada masa itu banyak penduduk atau
ulama-ulama keturunan Matraman Dalam asli yang masih hidup, tentu interaksi
beliau cukup baik.
Dalam perjalanan Majelis Taklim yang pernah kami ikuti di jalan
Kimia yang diasuh oleh Al-Ustadz Ishak Usman, pada tahun 1988 – 1989 bahkan
Kyai Noer Ali ini pernah diundang dalam acara kegiatan pengajian. Beliau datang
dengan jubah hitam dengan ikat sorban dikepala (imamah) yang berwarna kuning
dengan memakai tongkat. KH Noer Ali memang sangat karismatik dan berwibawa.
Memang ciri khas beliau ini selalu memakai jubah, kadang hijau, kadang hitam,
kadang putih. Dalam pengalaman kami bertemu beliau, memang beliau ini dimana-mana
selalu ditunggu dalam kegiatan-kegiatan keagamaan. Kami termasuk fihak yang
“kenyang” bertemu beliau, sehingga kami hafal ditempat mana beliau biasanya
datang dalam kegiatan-kegiatan keagamaan yang diadakan ulama-ulama Jakarta,
seperti Maulid Nabi, Haul, Isra Mi’raj, dll.
Setiap pertemuan
dengan beliau, selalu saja kami mendengar tentang “keajaiban” kisah beliau
dalam berperang melawan penjajah Belanda dan sekutunya. Sehingga itu menambah
keinginan kami untuk lebih dekat melihat beliau. Ceramah beliau memang sangat
bisa difahami dengan mudah, bahasa beliau cukup ringkas tapi penuh arti. “Singa
Karawang Bekasi” ini secara tidak langsung telah memberikan warna keagamaan
dalam hidup kami. Kami sendiri setahun yang lalu bahkan pernah berkunjung ke
kediaman KH Amir Noer dan cucu beliau di Pondok Pesantren Ujung Harapan Bekasi
dalam rangka penelitian nasab yang sesungguhnya KH Noer Ali. Penelitian kami
lakukan karena kami ingin mengetahui siapa sebenarnya leluhur dari Pahlawan
Besar ini. Bahkan dengan cucu beliau yang merupakan lulusan dari Zabid
Hadramaut kami sempat melakukan wawancara cukup panjang, namun Sayangnya
penelitian ini tidak kami lanjuti karena kesibukan-kesibukan yang tidak bisa
kami tinggal.
Sampai akhir hayatnya,
Sang Kolonel lebih banyak berkiprah didunia dakwah dan pendidikan. Beliau
sepertinya lebih nyaman menjadi ulama ketimbang menjadi abdi pemerintah ataupun
politikus. Nasehat gurunya (Syekh Ali Al-Maliki) saat di Mekkah sepertinya
selalu terbayang dan terngiang, bahwa gurunya itu tidak akan pernah Ridho Dunia
Akhirat jika mendengar muridnya ini menjadi abdi pemerintah. Sikap hormat dan
patuh terhadap gurunya ini memang sudah banyak didengar oleh beberapa
sahabatnya, sehingga tidaklah mengherankan jika mereka melihat KH Noer Ali
kemudian menjadi ulama plus pendidik tangguh di wilayah Bekasi dan sekitarnya.
Sampai saat ini nama Sang Kolonel yang juga Kyai ini masih harum. Beruntunglah
rakyat Bekasi mempunyai ulama yang dulu pernah mampu menghadapi penjajah dengan
perlawanan hebatnya.....
KARAWANG BEKASI !!!
Sumber :
Al Fattah, Iwan Mahmud. Masjid Jami Matraman Dalam Dan Sekitarnya,
Harta Karun Sejarah Jayakarta, Jakarta : Ikrafa, 2015, hlm 197 – 200
POSTED BY : Ikrafaalfattah.blogspot.com
Tidak ada komentar:
Posting Komentar